Diskusi Mengukur Manfaat Densus 88; Densus 88 : Harus Transparan dan Siap Dievaluasi.

Medan, (Analisa). Detasemen Khusus 88 (Densus 88) se­bagai lembaga negara yang bertugas dalam menanggulangi terorisme dalam ope­rasinya tidak bisa diterima dengan lo­gika sehat seperti pada kasus Siyono yang mati karena terduga teroris. Lem­baga negara harus transparan dan siap dievaluasi.
Demikian disampaikan pakar kri­minolog Mustofa Nahrawardhaya da­lam bagian acara Konsorsium Medan Sya­riah Club, Temu Tokoh Islam VI de­ngan tema ‘Mengukur Manfaat Den­sus 88’ di Hotel Polonia Jalan Jenderal Su­dirman Medan, Sabtu (14/5).
“Terorisme itu seperti bisnis, bisa diekspor dan diimpor, namun Densus 88 dalam menjalankan operasinya  tidak bisa diterima logika yang sehat. Kami minta agarDensus 88 dievaluasi, Densus 88 banyak menyalahi cara-cara dalam menanggulangi terorisme,” tukasnya.
Ia membeberkan beberapa peris­tiwa yang menjelaskan operasi lem­baga dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antiteror itu juga memiliki kelemahan dalam penang­gu­langan terorisme, berbagai ke­te­ra­ngan yang kurang masuk akal di­si­nya­lir. Seperti kasus Siyono, bom Thamrin dan kasus Jesica-Mirna yang saling ter­kait, pemboman masjid Cirebon dan lainnya.
PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar mengungkapkan dibalik sejum­lah aksi teror yang terjadi di Indonesia me­rupakan skenario yang didalangi pihak kapitalis, akibatnya Islam men­jadi kambing hitam. “Ada kelompok ka­pitalis besar atau korporasi besar yang mendalangi terorisme di Indonesia, hal itu berdampak bagi kaum Islam. Pola dalam prosesnya yaitu isu, je­bak dan tangkap,” ketusnya yang me­rupakan pendamping keluarga Siyono.
Pengamat terorisme Al Chaidar meng­­ungkapkan negara ini sudah di­ganti sistemnya dengan sistem khi­la­fah. “Setelah perang dingin, lawan ter­­besar bagi kaum kapitalis, komunis dan sosialis adalah Islam dan secara ideo­­logi mereka hanya takut dengan Is­lam.
Selama negara ini belum Islam, maka akan masih ada perlawanan sam­pai negara ini menjadi bagian dari khilafah,” ujarnya.
Pengamat hukum Dr. Abdul Hakim Sia­­gian, M.Hum mencoba mem­be­rikan pemahaman tentang negara Indo­ne­sia yang berdasarkan Pancasila. “Se­be­narnya pijakan kami adalah Pan­ca­sila dan NKRI, Islam yang berkorban un­tuk negara ini dan Pancasila identik dan percis dengan Islam. Masalah-masalah yang terjadi me­ru­pakan persoalan yang harus kita pe­cahkan bersama. Kita harus diskusi un­tuk menemukan solusi bukan me­ngom­po­ri, lembaga negara harus pro­fe­sio­nal, terbuka dan punya akun­ta­bilitas” pung­kasnya.
“Kalau kita punya moral tinggi, adab dan etika, maka tidak perlu ada undang-undang terorisme. Kita me­nga­jukan agar kata-kata patut diduga di dalam UU Terorisme diganti. Kita ti­dak boleh menduga orang teroris ha­nya dengan mengandalkan feeling dari anggota Densus 88,” jelasnya. (amad)

Sumber : Analisadaily

Related

SUMUT 4759170701378450547

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in week

Recent

Comments

item