Diskusi Mengukur Manfaat Densus 88; Densus 88 : Harus Transparan dan Siap Dievaluasi.

http://lmisumut.blogspot.com/2016/06/diskusi-mengukur-manfaat-densus-88.html
Medan, (Analisa). Detasemen
Khusus 88 (Densus 88) sebagai lembaga negara yang bertugas dalam
menanggulangi terorisme dalam operasinya tidak bisa diterima dengan
logika sehat seperti pada kasus Siyono yang mati karena terduga
teroris. Lembaga negara harus transparan dan siap dievaluasi.
Demikian disampaikan pakar kriminolog Mustofa Nahrawardhaya dalam bagian acara Konsorsium Medan Syariah Club, Temu Tokoh Islam VI dengan tema ‘Mengukur Manfaat Densus 88’ di Hotel Polonia Jalan Jenderal Sudirman Medan, Sabtu (14/5).
“Terorisme itu seperti bisnis, bisa diekspor dan diimpor, namun Densus 88 dalam menjalankan operasinya tidak bisa diterima logika yang sehat. Kami minta agarDensus 88 dievaluasi, Densus 88 banyak menyalahi cara-cara dalam menanggulangi terorisme,” tukasnya.
Ia membeberkan beberapa peristiwa yang menjelaskan operasi lembaga dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antiteror itu juga memiliki kelemahan dalam penanggulangan terorisme, berbagai keterangan yang kurang masuk akal disinyalir. Seperti kasus Siyono, bom Thamrin dan kasus Jesica-Mirna yang saling terkait, pemboman masjid Cirebon dan lainnya.
PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar mengungkapkan dibalik sejumlah aksi teror yang terjadi di Indonesia merupakan skenario yang didalangi pihak kapitalis, akibatnya Islam menjadi kambing hitam. “Ada kelompok kapitalis besar atau korporasi besar yang mendalangi terorisme di Indonesia, hal itu berdampak bagi kaum Islam. Pola dalam prosesnya yaitu isu, jebak dan tangkap,” ketusnya yang merupakan pendamping keluarga Siyono.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengungkapkan negara ini sudah diganti sistemnya dengan sistem khilafah. “Setelah perang dingin, lawan terbesar bagi kaum kapitalis, komunis dan sosialis adalah Islam dan secara ideologi mereka hanya takut dengan Islam.
Selama negara ini belum Islam, maka akan masih ada perlawanan sampai negara ini menjadi bagian dari khilafah,” ujarnya.
Pengamat hukum Dr. Abdul Hakim Siagian, M.Hum mencoba memberikan pemahaman tentang negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. “Sebenarnya pijakan kami adalah Pancasila dan NKRI, Islam yang berkorban untuk negara ini dan Pancasila identik dan percis dengan Islam. Masalah-masalah yang terjadi merupakan persoalan yang harus kita pecahkan bersama. Kita harus diskusi untuk menemukan solusi bukan mengompori, lembaga negara harus profesional, terbuka dan punya akuntabilitas” pungkasnya.
“Kalau kita punya moral tinggi, adab dan etika, maka tidak perlu ada undang-undang terorisme. Kita mengajukan agar kata-kata patut diduga di dalam UU Terorisme diganti. Kita tidak boleh menduga orang teroris hanya dengan mengandalkan feeling dari anggota Densus 88,” jelasnya. (amad)
Sumber : Analisadaily
Demikian disampaikan pakar kriminolog Mustofa Nahrawardhaya dalam bagian acara Konsorsium Medan Syariah Club, Temu Tokoh Islam VI dengan tema ‘Mengukur Manfaat Densus 88’ di Hotel Polonia Jalan Jenderal Sudirman Medan, Sabtu (14/5).
“Terorisme itu seperti bisnis, bisa diekspor dan diimpor, namun Densus 88 dalam menjalankan operasinya tidak bisa diterima logika yang sehat. Kami minta agarDensus 88 dievaluasi, Densus 88 banyak menyalahi cara-cara dalam menanggulangi terorisme,” tukasnya.
Ia membeberkan beberapa peristiwa yang menjelaskan operasi lembaga dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antiteror itu juga memiliki kelemahan dalam penanggulangan terorisme, berbagai keterangan yang kurang masuk akal disinyalir. Seperti kasus Siyono, bom Thamrin dan kasus Jesica-Mirna yang saling terkait, pemboman masjid Cirebon dan lainnya.
PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar mengungkapkan dibalik sejumlah aksi teror yang terjadi di Indonesia merupakan skenario yang didalangi pihak kapitalis, akibatnya Islam menjadi kambing hitam. “Ada kelompok kapitalis besar atau korporasi besar yang mendalangi terorisme di Indonesia, hal itu berdampak bagi kaum Islam. Pola dalam prosesnya yaitu isu, jebak dan tangkap,” ketusnya yang merupakan pendamping keluarga Siyono.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengungkapkan negara ini sudah diganti sistemnya dengan sistem khilafah. “Setelah perang dingin, lawan terbesar bagi kaum kapitalis, komunis dan sosialis adalah Islam dan secara ideologi mereka hanya takut dengan Islam.
Selama negara ini belum Islam, maka akan masih ada perlawanan sampai negara ini menjadi bagian dari khilafah,” ujarnya.
Pengamat hukum Dr. Abdul Hakim Siagian, M.Hum mencoba memberikan pemahaman tentang negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. “Sebenarnya pijakan kami adalah Pancasila dan NKRI, Islam yang berkorban untuk negara ini dan Pancasila identik dan percis dengan Islam. Masalah-masalah yang terjadi merupakan persoalan yang harus kita pecahkan bersama. Kita harus diskusi untuk menemukan solusi bukan mengompori, lembaga negara harus profesional, terbuka dan punya akuntabilitas” pungkasnya.
“Kalau kita punya moral tinggi, adab dan etika, maka tidak perlu ada undang-undang terorisme. Kita mengajukan agar kata-kata patut diduga di dalam UU Terorisme diganti. Kita tidak boleh menduga orang teroris hanya dengan mengandalkan feeling dari anggota Densus 88,” jelasnya. (amad)
Sumber : Analisadaily